Sabtu, 08 November 2014

Potensi Ekonomi Maritim Indonesia

20 Agustus 2013 - 13:07:56

iisd.ca
Oleh
Prof.Dr.Ir. Rokhmin Dahuri, MS.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB; Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia; Ketua Bidang Kelautan dan Kemaritiman, Persatuan Insinyur Indonesia; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen.

Seluruh rakyat Indonesia sangat mendambakan segera terwujudnya kehidupan berbangsa dan bernegara yang maju, adil-makmur, damai, dan berdaulat. Kita bersyukur kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pemurah, bahwa di tengah krisis ekonomi global sejak 2008, Indonesia termasuk sedikit negara di dunia yang perekonomiannya tetap tumbuh positif. Tahun lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 6,4 persen, inflasi rendah dan terkendali, cadangan devisa mencapai 119 miliar dolar AS (terbesar sepanjang sejarah negeri ini), dan untuk pertama kalinya Indonesia dinilai oleh lembaga pemeringkat dunia (Fitch Rating, 2011) sebagai negara yang layak investasi (investment grade). Diprediksikan tahun 2013 PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia bisa menyentuh angka 1 triliun dolar AS yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia. Disamping itu lembaga kajian Mc Kinsey Global Institute pada tahun 2012 menyebutkan bahwa ekonomi Indonesia akan menempati posisi ketujuh dunia mengungguli Jerman dan Inggris pada 2030 dan perekonomian Indonesia akan ditopang 4 sektor utama yaitu bidang jasa, pertanian, perikanan serta sumber daya alam.

Namun di balik gemilangnya prestasi makroekonomi itu, kehidupan keseharian mayoritas rakyat Indonesia masih didera oleh beragam penderitaan fisik maupun kejiwaan. Dengan garis kemiskinan Rp 234.000/orang/bulan, BPS mencatat banyaknya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada September 2012 sebesar 28,59 juta orang atau 11,6 % dari total penduduk (BPS, 2012). Dan, jika mengacu pada garis kemiskinan versi Bank Dunia, yakni 2 dolar AS/orang/hari (sekitar Rp 540.000/orang/bulan), maka jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 117 juta orang. Artinya hampir separuh rakyat Indonesia masih hidup bergelimang kemiskinan.

Dalam pada itu, jumlah pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung (disguished unemployment) pun masih begitu besar, yakni sekitar 7,24 juta (Agustus 2012) dan 34 juta orang. Hal ini ditenggarai akibat kebijakan pemerintah yang sangat liberal dalam perdagangan bebas dengan bangsa-bangsa lain di dunia, khususnya sejak diberlakukannya perdagangan bebas dengan China (ACFTA, ASEAN-China Free Trade Agreement) pada Januari 2010 lalu. Sementara, pemerintah belum menyiapkan etos kerja rakyat dan daya saing industri nasional. Akibatnya, banyak pabrik atau perusahaan yang mengurangi produksinya atau gulung tikar, sehingga PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) menjadi pilihan sejumlah perusahaan.

Bukan hanya semakin membludaknya jumlah pengangguran, kian terpuruknya industri (produksi) nasional akibat liberalisasi perdagangan pun telah menyebabkan surplus perdagangan Indonesia semakin tergerus. Bahkan, sejak tahun lalu nilai ekspor Indonesia ke China lebih kecil ketimbang nilai impornya dari negeri Tirai Bambu itu. Sebagian besar ekspor Indonesia hingga kini masih didominasi oleh komoditas primer/bahan mentah (seperti gas alam, minyak sawit, batu bara dan bahan tambang lain, rumput laut, dan ikan), yang kecil sekali nilai tambahnya dan kurang menghasilkan multiplier effects (efek pengganda) bagi ekonomi nasional.

Bila daya saing ekonomi tetap rendah dan impor dibuka selebar-lebarnya seperti ini terus dibiarkan, maka Indonesia tidak akan mampu menjadi bangsa produsen. Sebaliknya, kita akan menjadi bangsa konsumen terbesar yang sangat bergantung pada bangsa-bangsa lain, alias tidak berdaulat. Yang lebih mencemaskan, sektor-sektor ekonomi strategis (seperti pertambangan, perkebunan, perbankan, dan telekomunikasi) pun saham mayoritasnya sebagian besar dimiliki oleh korporasi asing (Kompas, 23 – 26 Mei 2011).

Budaya konsumtif, hedonis, dan materialistik yang melanda kebanyakan orang-orang kaya, penguasa, dan politikus pun telah mengakibatkan kesenjangan antara warga negara yang kaya vs. miskin kian melebar. Tahun lalu, 40 orang terkaya memiliki harta yang sama dengan 60 juta orang termiskin di Indonesia (Tribunnews.com, 26 Oktober 2011). Demikian pula halnya dengan disparitas pembangunan antar wilayah. Bayangkan, Pulau Jawa yang luas daratannya hanya 6,5 % dari total luas wilayah daratan Indonesia, menyumbangkan 62 persen bagi PDB nasional, diikuti oleh P. Sumatera sebesar 23 persen. Sedangkan, pulau-pulau lainnya (Kalimantan, Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara, dan Papua) yang luas daratnya sekitar 80% dari luas lahan Indonesia hanya berkontribusi sebesar 15 persen (Bappenas, 2011). Jika ketimpangan pembangunan antar wilayah yang sangat tajam ini tidak segera dikoreksi, maka bukan hanya urbanisasi dengan segudang permasalahannya yang menyeruak, tetapi juga bisa mengakibatkan inefisiensi perekonomian nasional dan munculnya gerakan separatisme.

Angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi serta kesenjangan kaya vs. miskin diyakini telah mengakibatkan tekanan hidup yang sangat berat bagi kebanyakan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Sehingga, membuat mereka banyak yang menderita kecemburuan sosial (social jelousy). Kondisi sosio-antropologis semacam inilah yang mengakibatkan kian marak dan masif nya premanisme, perampokan, perkelahian antar kelompok masyarakat, konsumsi narkoba, dan beragam penyakit sosial (social pathology) lainnya.

Muara (resultante) dari segenap permasalahan sosial-ekonomi riil diatas adalah rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) Indonesia yang hanya menempati urutan-124 dari 187 negara yang disurvei (UNDP, 2011). Sekedar perbandingan, negara-negara tetangga Singapura bertengger pada urutan-26, Malaysia-61, Thailand-103, dan Philipina-112. Sedangkan, urutan-1 diraih Norwegia, AS-4, Korea Selatan-15, dan China-101.

Fakta bahwa Indonesia sampai sekarang masih sebagai negara berkembang dengan angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi serta daya saing ekonomi yang rendah merupakan sebuah ironi yang memilukan. Betapa tidak, Indonesia dikaruniai Allah modal dasar (potensi) yang lengkap untuk menjadi bangsa besar yang maju dan sejahtera. Modal dasar itu, pertama adalah berupa 240 juta jiwa penduduk (terbesar keempat di dunia) dengan kualitas dasar yang sebenarnya bagus, berarti merupakan human capital dan potensi pasar domestik yang sangat besar. Kedua adalah kekayaan alam yang cukup besar dan beraneka ragam, baik yang terdapat di darat maupun di laut. Dan, ketiga adalah posisi geoekonomi yang sangat strategis, dimana 45% dari total barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia dengan nilai 1.500 triliun dolar AS setiap tahunnya dikapalkan melalui wilayah laut Indonesia (UNCTAD, 2010). Selain akses kepada pasar global yang mudah dan terbuka lebar bagi segenap produk dan jasa (goods and services) nasional kita, Indonesia juga semestinya menjadi penentu dan penerima manfaat terbesar dari sektor transportasi laut. Celakanya, sejak 1987 sampai sekarang, Indonesia terus menghamburkan devisa rata-rata 18 miliar dolar AS per tahun untuk membayar jasa armada kapal niaga (pengangkut) asing (INSA, 2011).

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal, mulai dari kelembagaan politik (political institution) yang menyuburkan budaya instan, premanisme, politik uang (money politics), dan korupsi, rendahnya etos kerja bangsa yang unggul, sampai lemahnya penguasaan dan penerapan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dalam berbagai bidang kehidupan bangsa ini. Salah satu yang terpenting adalah karena kita belum punya visi pembangunan yang tepat dan benar serta dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan. Visi pembangunan Indonesia sejak zaman penjajahan hingga sekarang sangat dominan berorientasi darat. Padahal, Indonesia merupakan negara maritim dengan luas wilayah yang 75% territorial laut dan kepulauan terbesar di dunia. Akibatnya, ekonomi Indonesia menjadi kurang efisien dan rendah daya saing nya.

Sumberdaya Kelautan Sebagai Keunggulan Komparatif dan Kompetitif Indonesia

Sehubungan dengan sejumlah permasalahan bangsa di atas, kita seluruh komponen bangsa harus segera sadar, bangkit dan bersatu-padu untuk secara cerdas dan ikhlas mengatasi segenap permasalahan dan secara simultan mendayagunakan semua potensi bangsa menuju satu tujuan, yakni terwujudnya Indonesia yang maju, adil-makmur dan diridhoi Allah SWT. Pertanyaannya kita harus mulai dari mana, mengingat begitu banyak dan kompleksnya permasalahan bangsa ini. Dari perspektif ilmu kesisteman (system science), negara-bangsa adalah sebuah sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem (komponen) yang saling berinteraksi. Dalam konteks sistem pemerintahan NKRI, Indonesia memiliki tiga sub-sistem utama yakni: bidang perekonomian; polhukam (politik, hukum dan keamanan); dan kesra (kesejahteraan rakyat). Selanjutnya, jika Indonesia ingin maju dan makmur, maka kita harus upayakan agar setiap sub-sistem menghasilkan karya (outputs) terbaiknya secara maksimal, dan antar sub-sistem tersebut bersinergi secara produktif.

Maka agenda pembangunan ekonomi yang mestinya kita kembangkan adalah sektor-sektor (kegiatan) ekonomi yang mampu menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar dan memberikan penghasilan yang secara manusiawi memadai dan terus membaik, sehingga setiap rumah tangga minimal dapat memenuhi lima kebutuhan dasarnya, yaitu: pangan, sandang, perumahan, kesehatan, dan pendidikan. Selain itu, karena Indonesia juga merupakan salah satu negara penghutang terbesar di dunia (213,5 miliar dolar AS, The World Bank 2012 dalam suara merdeka, 27/12/2012) maka sektor-sektor ekonomi itupun harus mampu menghasilkan devisa secara signifikan dan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi (di atas 7% per tahun) secara berkesinambungan. Semua persyaratan (harapan) ini sesungguhnya dapat dipenuhi oleh industri-industri berbasis sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) kelautan yang meliputi sebelas sektor utama: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) pariwisata bahari, (6) pertambangan dan energi, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) pulau-pulau kecil, (10) sumberdaya non-konvensional seperti deep sea water industries, hydrothermal vents, dan (11) benda-benda berharga asal muatan kapal tenggelam (harta karun di dasar laut).

Potensi nilai total ekonomi kesebelas sektor kelautan Indonesia diperkirakan mencapai 1 triliun dolar AS (Rp 9.300 triliun) per tahun atau sekitar enam kali lipat APBN 2013. Sedangkan, kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan sekitar 40 juta orang. Karenanya, bila kita mampu mendayagunakan potensi ekonomi kelautan secara produktif dan efisien, maka masalah pengangguran dan kemiskinan otomatis akan terpecahkan. Kita pun tidak perlu lagi mengirim TKW ke luar negeri yang acap kali mendapat perlakuan yang amat kejam dan tidak manusiawi.

Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, yang ditaburi oleh 13.466 pulau pada luasan laut 5,8 juta km2 termasuk ZEEI dan dikelilingi oleh 95.181 km garis pantai. Indonesia diberkahi Allah SWT dengan kekayaan laut yang sangat besar dan

beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam yang dapat pulih (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi); sumberdaya alam yang tak dapat pulih (seperti minyak dan gas bumi, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan (seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC atau Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut (Dahuri, 2003).

Potensi produksi lestari ikan laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan melalui usaha perikanan tangkap sebesar 6,5 juta ton/tahun, sekitar 8% dari total potensi produksi lestari ikan laut dunia (90 juta ton/ tahun). Kurang lebih 24 juta ha perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk usaha budidaya laut (mariculture) ikan kerapu, kakap, baronang, kerang mutiara, teripang, rumput laut, dan biota laut lainnya yang bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi produksi sekitar 42 juta ton/tahun. Namun, hingga tahun 2011 kita baru memanfaatkan potensi budidaya laut ini sebesar 4,6 juta ton (10,95%). Lahan pesisir (coastal land) yang sesuai untuk usaha budidaya tambak udang, bandeng, kerapu, nila, kepiting, rajungan, rumput laut, dan biota perairan lainnya diperkirakan lebih dari 1,2 juta ha dengan potensi produksi sekitar 10 juta ton/tahun (KKP, 2012). Sekadar ilustrasi, jika kita dapat mengusahakan 400.000 ha (30%) secara optimal dengan rata-rata produktivitas 5 ton/ha/tahun (seperempat dari rata-rata produktivitas tambak udang Vannamei saat ini), maka dihasilkan 2 juta ton udang/tahun. Dengan harga jual sekarang USD 5/kg (di lokasi tambak), nilai ekonominya mencapai USD 10 miliar/tahun. Kalau 75 persen kita ekspor, nilai devisanya USD 7,5 miliar. Ini baru satu komoditas perikanan. Padahal masih banyak produk perikanan lainnya, seperti ikan kerapu, kakap, baronang, bawal, tuna, cakalang, kepiting, rajungan, teri, nila, teripang, kerang mutiara, dan rumput laut yang selama ini diminati oleh pasar dunia, khususnya Jepang, Amerika Serikat, Uni Eropa, Singapura, RRC, dan Hongkong

Lebih dari itu, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut pada tingkatan genetik, spesies maupun ekosistem tertinggi di dunia. Oleh karenanya, Indonesia dikenal di dunia sebagai mega-marine biodiversity. Secara potensial, nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi kelautan Indonesia diperkirakan sekitar 82 milyar US$ per tahun. Meskipun belum ada perhitungan tentang potensi ekonomi pariwisata bahari. Namun jika kita membandingkan dengan negara bagian Queensland, Australia dengan panjang garis pantai hanya sekitar 9.800 km tapi mampu menghasilkan devisa pariwisata bahari sebesar US$ 2 miliar/tahun. Maka sebenarnya potensi ekonomi parwisata bahari Indonesia sangatlah besar.

Sementara itu, hampir 70% produksi minyak dan gas bumi kita berasal dari kawasan pesisir dan laut. Berdasarkan data geologi diketahui Indonesia memiliki 60 cekungan potensi yang mengandung minyak dan gas bumi. Dari 60 cekungan tersebut, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 berada di daerah transisi daratan dan lautan (pesisir) dan hanya 6 saja yang berada di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan mempunyai potensi sebesar 11,3 miliar barel yang terdiri atas 5,5 miliar barel cadangan potensial dan 5,8 miliar barel berupa cadangan terbukti. Selain itu diperkirakan cadangan gas bumi adalah 101,7 triliun kaki kubik yang terdiri dari cadangan terbukti 64,4 triliun dan cadangan potensial sebesar 37,3 triliun kaki kubik.

Potensi ekonomi bisnis jasa perhubungan laut diperkirakan sekitar 14 milyar US$ per tahun. Ini berdasarkan pada perhitungan bahwa sejak 15 tahun terakhir kita mengeluarkan devisa sekitar 14 milyar US$ untuk membayar armada pelayaran asing yang selama ini mengangkut 97% dari total barang yang diekspor dan diimpor ke Indonesia, dan yang mengangkut 50% dari total barang yang dikapalkan antar pulau di wilayah Indonesia. Sementara itu di sektor jasa penyediaan tenaga kerja pelaut untuk kapal niaga, kapal pesiar

dan pelayaran rakyat, potensi ekonominya pun luar biasa besarnya. Potensi ekonomi ini akan menjadi lebih bermakna dan bernilai strategis, seiring dengan kenyataan bahwa pusat kegiatan ekonomi dunia sejak akhir abad-20 sebenarnya telah bergeser dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik. Hampir 70% total perdagangan dunia berlangsung diantara negara-negara di Asia-Pasifik. Lebih dari 75% dari barang-barang yang diperdagangkannya ditransportasikan melalui laut, terutama melalui Selat Malaka, Selat Lombok, Selat Makasar, dan laut-laut Indonesia lainnya dengan nilai sekitar 1.300 trilyun US$ setiap tahunnya.

Jaringan kabel optik bawah laut dipercayai mempunyai banyak keunggulan yang tidak dimiliki oleh jaringan transmisi data dan telekomunikasi melalui satelit. Hubungan telekomunikasi antara San Francisco dan Singapura misalnya, kini telah terhubung dengan kabel fiber optik yang direntang melitasi dasar Lautan Pasifik. Dari Singapura-Jakarta juga sudah terpasang, sehingga telepon dari pesisir barat Amerika ke Jakarta bisa terhubung dengan suara yang jernih dan tanpa gema yang mengganggu karena kecepatan transmisinya yang luar biasa. Paket-paket suara ataupun data yang ditransmisikan melesat dari pesisir barat Amerika ke singapura dan Jakarta dalam kecepatan cahaya melalui media serat kaca optik. Melesat tanpa gangguan cuaca di atas atmosfer bumi ataupun gangguan badai magnetik dari angkasa luar. Akibatnya suara terdengar begitu jernih, bahkan saat seorang ayah di Silicon Valley bisa berbisik melalui telepon kepada anaknya di Pulau Jawa.

Kini jaringan kabel serat kaca optik bawah laut lebih dimanfaatkan untuk transmisi data internet. Para pengguna jasa jaringan kabel bawah laut yang canggih ini percaya bahwa akses internet broadband melalui jaringan ini akan lebih berdaya guna daripada melalui dial-up. Hal ini disebabkan pengguna jasa akan memperoleh kapasitas transmisi data yang jauh lebih besar. Alasan kedua adalah bahwa frekuensi broadband dengan melalui kabel optik ini dianggap lebih sesuai untuk melayani keperluan industri dan korporasi ataupun para pengusaha.

Dengan adanya kebutuhan manusia akan pembangunan jaringan kabel bawah samudra ini, industri kelautan akan ikut pula berkembang. Antara lain meliputi industri survei topografi dasar lautan, industri geofisika dan geologi kelautan yang mendukung dengan data lapisan tanah dari dasar lautan yang akan dipakai sebagai lintasan kabel bawah laut tadi. Demikian pula industri teknik kelautan, yang akan sibuk menjalankan kapal-kapal canggih untuk merawat dan memonitor jaringan kabel yang bercentang-perenang di antara kepulauan Nusantara. (Djamil, 2004; Bateman and Sherwood, 1995).

Sekali lagi, karena letak Indonesia secara geoekonomi dan geopolitik sangat strategis, yakni diapit oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia serta oleh Benua Asia dan Australia, maka seharusnyalah bangsa Indonesia yang paling mendapat keuntungan ekonomis yang besar dari posisi kelautan global. Lebih dari itu, dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia serta semakin menipisnya sumberdaya alam di darat; maka permintaan manusia terhadap bahan pangan, serat (sandang), kayu, obat-obatan, energi, kosmetika, dan jasa-jasa lingkungan (envrionemntal services) yang berasal dari laut bakal meningkat secara dramatis. Dengan demikian, negara-bangsa yang kaya dengan sumberdaya alam kelautan, seperti Indonesia, di masa depan bakal menjadi kompetitif. Asalkan pemanfaatan dan pengelolaannya dilakukan dengan menerapkan IPTEK, manajemen profesional, akhlaq mulia, dan mengindahkan kaidah kelestarian lingkungan.

Pendeknya, jika bangsa Indonesia mampu mendayagunakan sumberdaya kelautan secara cerdas dan penuh kearifan, saya yakin kita bisa menjadi bangsa besar yang maju, adil-makmur, dan bermartabat yang dihormati secara wajar oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Tidak seperti sekarang, oleh Malaysia saja kita dilecehkan melalui kasus Ambalat, oleh Singapura dipermainkan melalui perlindungan para pencuci uang dan koruptor yang lari dari

Indonesia ke negeri sungai tersebut. Selain fungsi ekonomi, laut juga memiliki tiga fungsi lainnya yang sangat menentukan dinamika ekosistem bumi dan kehidupan umat manusia yang menghuninya. Fungsi tersebut berupa: fungsi bio-ekologis; fungsi pertahanan dan keamanan; dan fungsi pendidikan, penelitian dan informasi (Till, 2004).

Peran bio-ekologis laut sangat besar pengaruhnya pada hampir semua aspek kehidupan manusia dan lingkungan hidupnya. Interaksi dinamis antara laut dan udara menentukan pola iklim dunia, dan sistem pergerakan arus laut turut memelihara keseimbangan suhu bumi, sehingga cocok untuk kehidupan mahluk hidup. Melalui proses biogeofisik-kimiawi, sejumlah deposit minyak bumi, gas alam, timah, bijih besi, bauksit, mangan, emas, fosfor, dan mineral lain tersimpan di dasar laut. Sementara itu, perairan laut merupakan tempat kehidupan bagi beranekaragam dan berjuta-juta makhluk hidup (organisme), mulai dari yang tak terlihat mata (microscopic) seperti bakteri, sampai makhluk hidup terbesar di dunia berupa ikan paus biru (blue whale).

Karakterstik oseanografis laut Indonesia yang khas merupakan indikator (penentu) muncul dan lenyapnya El-Nino dan La-Nina, yang mempengaruhi perubahan iklim global, dan berdampak pada kemarau panjang, banjir, kegagalan panen, kebakaran hutan, serta naik turunnya produksi perikanan. Selain itu hamparan laut Indonesia memiliki pengaruh terhadap sistem atmosfer dunia. Jasa-jasa ekosistem laut yang sangat penting adalah sebagai pompa biologis (biological pump). Istilah tersebut dipergunakan karena kehidupan yang terdapat di laut dapat mengontrol konsentrasi CO2 di atmosfir. Gas CO2 di atmosfer sebesar 700 milyar ton dipertahankan melalui pertukaran dengan cadangan yang sangat besar di laut yaitu sebesar 35.000 milyar ton. Gradien vertikal ini terjadi disebabkan oleh kehadiran populasi fitoplankton berupa diatom, coccolithrophore dan dinoflagellata. Organisme fitoplankton tersebut mengambil CO2 yang terlarut dalam perairan laut untuk proses fotosintesa.

Komunitas fitoplankton dan makro alga juga mempunyai peran yang penting dalam menjaga keseimbangan panas bumi melalui pengendalian ketebalan awan yang melewati lautan. Hal ini merupakan kunci utama dalam menentukan berapa besar radiasi sinar matahari yang dipantulkan kembali dari bumi. Berdasarkan hipotesis bahwa jenis fitoplankton tertentu mengeluarkan zat yang cepat berubah menjadi gas yang bersifat reaktif terhadap sulfur (dimethyl sulfide atau DMS). Pada saat lepas ke atmosfer senyawa tersebut teroksidasi dengan cepat membentuk asam sulfat (H2SO4). Cairan asam tersebut berperan sebagai inti dalam proses kondensasi untuk pembentukan butiran uap air di permukaan laut.

Dengan adanya kedua peran dari ekosistem laut tersebut (biological carbon pump dan DMS/cloud mechanism), maka fenomena ini dapat berperan sebagai umpan balik positif terhadap perubahan iklim global, sehingga dampak akibat peningkatan CO2 dapat diperkecil. Diperkirakan kemampuan biota perairan dalam mengatur iklim global lebih besar bila dibandingkan dengan hutan tropika basah.

Dari aspek pertahanan dan keamanan, peranan laut pun sangat penting terutama dalam hubungannya dengan usaha menjaga kedaulatan negara. Di samping itu, karena wilayah perairan laut Indonesia, dengan 3 ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) nya, terdapat pada lokasi yang secara geopolitis dan geoekonomis strategis, maka hal ini semakin memperkuat argumen pentingnya laut ditinjau dari aspek pertahanan dan keamanan.

Di wilayah lautan Indonesia terdapat 182 base point atau garis pangkal yang dijadikan dasar dalam penetapan perbatasan wilayah laut dengan sepuluh negara, yakni: India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Pilipina, Palau, Papua Nugini, Australia dan Timor Leste. Dari kesepuluh negara ini, baru dengan Australia kesepakatan perbatasan ini dapat diselesaikan secara menyeluruh, sementara dengan sembilan negara lainnya masih dalam proses perundingan yang belum tuntas. Dari aspek ini maka pembangunan pertahanan dan

keamanan di laut menjadi sangat penting untuk memelihara dan menjaga kedaulatan negara dan bangsa. Di sisi lain pembangunan ekonomi sumberdaya kelautan dapat mendorong terciptanya kondisi pertahanan dan keamanan yang baik dan dinamis secara domestik, regional dan internasional. Peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir, pemanfaatan dan pendayagunaan pulau-pulau kecil serta pembangunan berbagai infrastruktur berbasis kelautan merupakan beberapa bagian penting dari pembangunan kelautan yang dapat menunjang terciptanya kondisi pertahanan dan keamanan negara secara baik dan dinamis.

Laut dan kehidupan yang ada di dalamnya juga merupakan bahan penelitian dan pendidikan yang tidak akan pernah habis-habisnya. Kegiatan pendidikan dan penelitian di bidang kelautan memberikan manfaat yang besar dalam pemanfaatan dan pendayagunaan sumberdaya kelautan bagi kehidupan manusia. Disamping itu, kegiatan pendidikan dan penelitian juga bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Disinilah pentingnya dipersiapkan sumberdaya manusia, lembaga penelitian dan pendidikan, partisipasi dan dukungan pemerintah, swasta dan masyarakat, agar semua potensi sumberdaya kelautan tersebut dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kehidupan bangsa dan negara ini.

Sayangnya, kita bangsa Indonesia sejak zaman penjajahan sampai akhir tahun 1999 melupakan jati diri kita sebagai bangsa maritim terbesar di dunia. Sumberdaya kelautan hanya dipandang dengan “sebelah mata”. Kalaupun ada kegiatan pemanfaatan sumberdaya kelautan, dilakukan secara kurang profesional dan ekstraktif, kurang mengindahkan aspek kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Sebaliknya, laut dipersepsikan sebagai tempat buangan (keranjang sampah) berbagai macam jenis limbah, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut.

Padahal sebelum masa penjajahan, kita pernah menjadi bangsa maritim besar yang disegani dan dihormati bangsa-bangsa lain di dunia. Sebelum masa penjajahan, Indonesia mempunyai sejarah panjang dan gemilang di bidang kelautan. Kejayaan kerajaan-kerajaan pesisir nusantara seperti Tarumanegara, Sriwijaya dan Majapahit menjadi bukti bahwa nenek moyang kita pernah berjaya di laut. Kerajaan Hindu Tarumanegara pada abad ke 5M sudah mampu berlayar mengarungi Laut Cina Selatan hingga mencapai daratan Cina. Kejayaan kerajaan Majapahit dan Sriwijaya di laut kemudian dilanjutkan oleh Kesultanan Islam yang merebak di hampir seluruh kepulauan Nusantara sejak abad ke 13 M seperti Kesultanan Samudera Pasai, Darussalam di Palembang, Banten, Cirebon, Demak, dan Gresik di wilayah barat; dan Kesultanan Bone, Goa, Ternate dan Tidore di wilayah timur Nusantara (Wahid dan Kariawan, 2004).

Urgensi RUU Kelautan

Sejak berdirinya Dewan Maritim Indonesia (DMI) dan Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) pada akhir 1999, geliat pembangunan kelautan mulai menunjukkan hasilnya. Dari perspektif geopolitik, hukum dan perundangan di bidang kemaritiman telah disusun dan disempurnakan, seperti penyempurnaan UU No.9/1985 tentang Perikanan menjadi UU No. 31/2004 tentang Perikanan kemudian dilanjutkan UU No. 45/2009 tentang perikanan, Inpres No.5/2005 tentang Pemberdayaan Pelayaran Nasional, RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir, PP No.38/2002 tentang Garis Pangkal Indonesia dan Rencana Keppres tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar dan Wilayah Perbatasan. Inventarisasi jumlah, penamaan, penyusunan basis data, dan pembangunan pulau-pulau kecil pun mulai digiatkan sejak awal tahun 2000.

Berkat kerjasama sinergis antar instansi terkait, antara lain Departemen Kelautan dan Perikanan, Bakosurtanal, Dishidros TNI-AL, Departemen Luar Negeri, dan Departemen Luar Negeri, pada waktu itu telah berhasil mempublikasikan Peta NKRI sejak 2 Mei 2003.

Meskipun ini terlambat, karena Malaysia telah mempublikasikan peta sejenis pada tahun 1979. Dan, atas dasar peta wilayah laut 1979 inilah, Malaysia secara sepihak mengklaim wilayah perairan Ambalat sebagai miliknya.

Selanjutnya pada masa kini setelah beberapa tahun lamanya diperjuangkan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan masuk dalam Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS) 2013. Setidaknya ada beberapa pokok materi yang melatarbelakangi urgensi RUU kelautan: Pertama, Perkembangan Dunia (Globalisasi) yang terkait dengan isu kelautan menuntut cara pandang baru yang sesuai dengan ketentuan dalam UNCLOS ( Unitet Nations Convention On The Law of The Sea ), seperti adanya penentuan Zona tambahan. Sementara itu, Indonesia sebagai salah satu negara kelautan di dunia belum memiliki aturan maupun regulasi (Ocean Act) yang bersifat komprehensif dan tegas, yang mengatur segala permasalahan dibidang Kelautan.

Kedua, Di Indonesia pengaturan di bidang kelautan masih terpencar-pencar di berbagai undang-undang yang terpisah, sendiri-sendiri (parsial), dan bersifat sektoral, sehingga berpotensi terjadinya tumpang tindih (overlapping), tidak konsisten dan membingungkan dalam pelaksanaannya. Ketiga, Masalah Penegakan Hukum dan Keamanan di Laut saat ini masih dipertimbangkan dengan mengedepankan lembaga/institusi khusus (coastguard), agar menjamin harmonisasi dan tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Keempat, Adanya dinamika internal di Indonesia, khususnya dalam tata pemerintahan pasca reformasi yaitu menyangkut tentang kewenangan pengelolaan laut kepada daerah (Otonomi Daerah). Kelima, Undang-Undang tentang Kelautan diharapkan dapat berperan sebagai : (a) Perekat dan penyelaras undang-undang yang telah ada sebelumnya, (b) Mengisi kekosongan peraturan dalam beberapa undang-undang sebelumnya, sehingga keseluruhan aspek kelautan yang menyangkut kebijakan, starategi kerjasama dalam perencanaan pengelolaan/pemanfaatan dan penanganan konflik lintas bidang dapat diatur secara komprehensif.

Road Map Pembangunan Kelautan

RUU kelautan diharapkan mampu mewujudkan pembangunan kelautan yang berkelanjutan. Pembangunan kelautan hendaknya diarahkan untuk meraih empat tujuan secara seimbang, yakni: (1) pertumbuhan ekonomi tinggi secara berkelanjutan; (2) peningkatan kesejahteraan seluruh pelaku usaha, khususnya para nelayan, pembudidaya ikan, dan masyarakat kelautan lainnya yang berskala kecil; (3) terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya kelautan; dan (4) menjadikan laut sebagai pemersatu dan tegaknya kedaulatan bangsa.

Untuk merealisasikan keempat tujuan termaksud, kita perlu segera melaksanakan empat agenda pembangunan kelautan secara sinergis dan produktif. Pertama adalah penegakkan kedaulatan di laut dengan cara menyelesaikan seluruh masalah perbatasan wilayah laut dan penguatan kekuatan hankam laut nasional. Kedua menyusun dan mengimplementasikan tata ruang kelautan nasional guna menjamin kepastian dan efisiensi investasi di bidang kelautan serta kelestarian ekosistem pesisir dan laut yang harus dilindungi. Naskah akademis tata ruang kelautan nasional sebenarnya sudah disiapkan oleh DKP sejak awal 2002, sehingga tinggal diimplementasikan dalam bentuk Keppres atau PP. Ketiga adalah peningkatan produktivitas dan efisiensi usaha ekonomi kesebelas sektor kelautan tersebut di atas.

Dalam jangka pendek, sektor-sektor ekonomi kelautan yang feasible untuk memecahkan permasalahan ekonomi adalah perikanan budidaya, perikanan tangkap, industri bioteknologi kelautan, pariwisata bahari, industri pelayaran (perhubungan laut), dan

pembangunan pulau-pulau kecil. Pembangunan perikanan budidaya dan perikanan tangkap hendaknya dilaksanakan dengan menerapkan sistem bisnis perikanan secara terpadu yang mencakup aspek produksi, penanganan dan pengolahan, dan pemasaran hasil perikanan. Selain itu, prioritas pembangunan seyogyanya fokus pada komoditas unggulan, yakni udang, kerapu, kakap, bandeng, nila, patin, kepiting, rumput laut, dan kerang mutiara untuk perikanan budidaya; dan udang, tuna, cakalang, ikan demersal dan pelagis kecil yang bernilai ekonomis tinggi untuk perikanan tangkap.

Sehubungan dengan pasar produk hilir rumput laut yang sangat besar atau tak terbatas dengan harga ekspor tinggi (US$ 4 – 70/kg) dan Indonesia memiliki potensi produksi rumput laut terbesar di dunia (18 juta ton rumput laut kering/tahun), maka fokus industri bioteknologi kelautan adalah untuk menghasilkan produk semi-refined dan refined (produk akhir) rumput laut jenis karaginan, alginat, dan agarosa untuk industri farmasi, kosmetik, diary products, tekstil, cat, dan industri lainnya. Akan halnya perhubungan laut, sesungguhnya tinggal mengimplementasikan Inpres No.5/2005 tentang Pelayaran Nasional secara serius dengan memberlakukan azas cabotage; meningkatkan produktivitas dan efisiensi pelayanan pelabuhan laut; mengembangkan Pelabuhan Sabang, Batam, Tanjung Priok, dan Bitung sebagai International Hub Port; penguatan dan pengembangan industri galangan kapal nasional (PT. PAL, PT. IKI, PT. Kodya Bahari, dll.); dan peningkatan produktivitas dan efisiensi manajemen pelayarannya itu sendiri.

Singkatnya, jika kita mampu mendayagunakan segenap potensi (berkah) ekonomi kelautan, penulis yakin bahwa bidang kelautan tidak hanya mampu mengeluarkan bangsa ini dari persoalan kemiskinan dan pengangguran, tetapi juga dapat menghantarkan Indonesia menjadi bangsa yang maju, adil-makmur, dan bermartabat. Kinerja sektor-sektor ekonomi kelautan seperti saya uraikan di atas hanya mungkin terwujud, apabila kebijakan politik-ekonomi (seperti fiskal-moneter, hukum, keamanan, otoda, infrastruktur, dan ketenagakerjaan) bersifat kondusif bagi tumbuh-kembangnya ekonomi kelautan.

Kita sebagai bangsa mesti melakukan perubahan paradigma (paradigm shift) pembangunan nasional, dari land-based socio-economic development menjadi ocean-based socio-economic development. Dalam rangka merealisasikan misi ini, maka diperlukan kebijakan terobosan (breakthrough) yakni dengan memposisikan pembangunan kelautan sebagai platform pembangunan ekonomi bangsa. Ini bukan berarti kita melupakan pembangunan di darat. Kita justru secara sinergis dan proporsional mengintegrasikan pembangunan sosial-ekonomi di darat dan di laut.

Kebijakan nasional ini mengandung arti bahwa segenap variables politik-ekonomi dan budaya bangsa berupa kebijakan fiskal, moneter, perdagangan internasional, perpajakan, industri, ketenagakerjaan, infrastruktur, pendidikan dan kebudayaan, IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni), tata ruang, keamanan, penegakan hukum, dan lainnya harus secara sinergis dan total football mendukung (kondusif) bagi tumbuh kembangnya sektor-sektor pembangunan kelautan. Dengan kata lain, kita harus bangun kekuatan maritim (seapower) Indonesia yang bertumpu pada kekuatan hankam (pertahanan dan keamanan) dan kekuatan ekonomi kelautan.

Jika kita mampu melaksanakan pembangunan kelautan sebagai platform pembangunan ekonomi bangsa, mudah-mudahan paling lambat tahun 2020, Indonesia menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, bermartabat, dan diridhoi Allah SWT. Sebuah Indonesia yang seluruh rakyatnya dapat bekerja secara produktif dengan penghasilan minimal dapat memenuhi lima kebutuhan dasarnya, GNP per kapitanya lebih besar dari US$ 8000, neraca perdagangannya positif. Seluruh rakyatnya bebas dari kelaparan, kebodohan, penyakit jasmani maupun rohani, dan rasa takut; sehingga kita hidup dalam suasana yang aman, damai, dan sejahtera. Sementara, negara-bangsa lain menghormati kita secara wajar.

Pada akhirnya, masa depan pembangunan Indonesia berbasis sumberdaya kelautan akan berpulang pada sejauh mana keputusan politik pemerintah dan rakyat Indonesia mendukung paradigma tersebut. Dukungan ini diwujudkan dalam kebijakan seperti RUU Kelautan, perencanan yang komprehensif dan terintegrasi, untuk secara penuh (all out) terus mengawal dan mendorong pembangunan kelautan melalui seluruh instrumen kebijakan dan aparatur pemerintah serta keterlibatan aktif rakyat dalam setiap program pembangunan kelautan.


DAFTAR PUSTAKA

Bateman, S., and Dick Sherwood. 1995. Australia’s Maritime Bridge into Asia. Australia: Royal Australian Navy. 222p.

Brown, R.L. 2003. Plan B: Rescuing a Planet under Stress and a Civilization in Trouble. New York: Earth Policy Institute. 285p.

Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 412p.

Dahuri, R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. 233p.

Djamil, A. S. 2004. Alquran dan Kelautan. Jakarta: Arasy Mizan. 549p.

FAO. 2012. The State of World Fisheries and Aquaculture. Rome: FAO Information Division.

Field, G, J., G. Hempel and C. P. Summerhayes. 2002. Oceans 2020: Science, trends, and the Challenge of Sustainability. Washington: Island Press. 365p.

McKinsey Global Institute. 2012. The archipelago economy: Unleashing Indonesia’s potential. 106p.

Ministry of Maritime Affairs and Fisheries Republic of Korea. 2002. Vision for Marine Policy of Korea: Blue Revolution for the 21st Century. Seoul: International Cooperation Office. 59p.

Till, G. 2004. Seapower: A Guide for the Twenty-First Century. Frank Cass Publisher. London. 430p.

United Nations Development Programme (UNDP), 2011. Human Development Report 2011 Sustainability and Equity A Better Future for All. New York, USA. 185 p.

W, Abdurrahman dan H. Kariawan. 2004. Membangun Ekonomi Kelautan: Tinjauan Sejarah dan Perspektif Ekonomi. Jakarta: Teplok Press. 128p.

http://jurnalmaritim.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar